Fakta Luar Biasa - 37 Kebiasaan orang tua yang menghasilkan perilaku buruk pada anak
Pertama kali dapat buku ini sekitar 2 tahun yang lalu, waktu itu teman merekomendasikan buku ini, akhirnya jadi tertarik dan ikutan beli, bukunya sendiri tipis, tapi tips tips yang di buku ini sangat bermanfaat buat saya pribadi, makanya jadi ingin turut membagi tips tips yang ada di buku ini.
- Apakah anda mulai merasa kesulitan mengendalikan perilaku anak anda?
- Apakah anda dan pasangan sering nggak sepaham dalam mendidik anak anak?
- Apakah anak anda sering merengek dan maksa untuk dituruti kemauannya?
- Apakah anak anda sering berantem satu sama lain?
- Apakah anda kesulitan karena anak anda selalu nonton tv atau maen ps?
Jika anda menjawab ya dari salah satu
pertanyaan diatas, maka ada baiknya baca tips tips dibawah ini. Berikut
ini adalah tips tips dari buku Ayah Edy ini.
1. Raja yang Tak Pernah Salah
Sewaktu anak kita masih kecil dan belajar
jalan tidak jarang tanpa sengaja mereka menabrak kursi atau meja. Lalu
mereka menangis. Umumnya, yang dilakukan oleh orang tua supaya tangisan
anak berhenti adalah dengan memukul kursi atau meja yang tanpa sengaja
mereka tabrak. Sambil mengatakan, “Siapa yang nakal ya? Ini sudah
Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah cup….cup…diem ya..Akhirnya si anak
pun terdiam.
Ketika proses pemukulan terhadap benda
benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya kita telah mengajarkan
kepada anak kita bahwa ia tidak pernah bersalah.
Yang salah orang atau benda lain.
Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa. Akibatnya, setiap ia
mengalami suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru
atau salah adalah orang lain, dan dirinya selalu benar. Akibat lebih
lanjut, yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah
orang lain yang tidak melakukan suatu kekeliruan atau kesalahan.
Kita sebagai orang tua baru menyadari hal
tersebut ketika si anak sudah mulai melawan pada kita. Perilaku melawan
ini terbangun sejak kecil karena tanpa sadar kita telah mengajarkan
untuk tidak pernah merasa bersalah.
Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan
ketika si anak yang baru berjalan menabrak sesuatu sehingga membuatnya
menangis? Yang sebaiknya kita lakukan adalah ajarilah ia untuk
bertanggung jawab atas apa yang terjadi; katakanlah padanya (sambil
mengusap bagian yang menurutnya terasa sakit): ” Sayang, kamu terbentur
ya. Sakit ya? Lain kali hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu
supaya tidak membentur lagi.”
2. Berbohong Kecil
Awalnya anak-anak kita adalah anak yang
selalu mendengarkan kata-kata orang tuanya, Mengapa? KArena mereka
percaya sepenuhnya pada orang tuanya. Namun, ketika anak beranjak besar,
ia sudah tidak menuruti perkataan atau permintaan kita? Apa yang
terjadi? Apakah anak kita sudah tidak percaya lagi dengan perkataan atau
ucapan-ucapan kita lagi?
Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap
hari sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu
contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak
kita meminta ikut atau mengajak berkeliling perumahan. Apa yang kita
lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita
lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat
lain, setelah itu kita buru-buru pergi? Atau yang ekstrem kita
mengatakan, “Papa/Mama hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya,
sebentaaar saja ya, Sayang.” Tapi ternyata, kita pulang malam. Contah
lain yang sering kita lakukan ketika kita sedang menyuapi makan anak
kita, “Kalo maemnya susah, nanti Papa?Mama tidak ajak jalan-jalan loh.”
Padahal secara logika antara jalan-jalan dan cara/pola makan anak, tidak
ada hubungannya sama sekali.
Dari beberapa contah di atas, jika kita
berbohong ringan atau sering kita istilahkan “bohong kecil”, dampaknya
ternyata besar. Anak tidak percaya lagi dengan kita sebagai orang tua.
Anak tidak dapat membedakan pernyataan kita yang bisa dipercaya atau
tidak. akibat lebih lanjut, anak menganggap semua yang diucapkan oleh
orang tuanya itu selalu bohong, anak mulai tidak menuruti segala
perkataan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan penuh kasih dan pengertian:
“Sayang, Papa/Mama mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo Papa/Mama ke kebun binatang, kamu bisa ikut.”
Kita tak perlu merasa khawatir dan
menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya membutuhkan waktu
lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka
menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang
tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita harus bersabar dan lakukan
pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan
memahami keadaan mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila
pergi bekerja, anak tidak bisa ikut. Sebaliknya bila pergi ke tempat
selain kantor, anak pasti diajak orang tuanya. Pastikan kita selalu
jujur dalam mengatakan sesuatu. Anak akan mampu memahami dan menuruti
apa yang kita katakan.
3. Banyak Mengancam
“Adik, jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan nggak ada yang mau menolong!”
“Jangan ganggu adik,nanti MAma/Papa marah!”
Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya
melarang atau perintah dan dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita
beranjak dari tempat duduk atau tanpa kita menghentikan suatu aktivitas,
pernyataan itu sudah termasuk ancaman. Terlebih ada kalimat tambahan
“….nanti Mama/Papa marah!”
Seorang anak adalah makhluk yang sangat
pandai dalam mempelajari pola orang tuanya; dia tidak hanya bisa
mengetahui pola orang tuanya mendidik, tapi dapat membelokkan pola atau
malah mengendalikan pola orang tuanya. Hal ini terjadi bila kita sering
menggunakan ancaman dengan kata-kata,namun setelah itu tidak ada tindak
lanjut atau mungkin kita sudah lupa dengan ancaman-ancaman yang pernah
kita ucapkan
Apa yang sebaiknya kita lakukan? .
Kita tidak perlu berteriak-teriak seperti
itu. Dekati si anak, hadapkan seluruh tubuh dan perhatian kita padanya.
tatap matanya dengan lembut, namum perlihatkan ekspresi kita tidak
senang dengan tindakan yang mereka lakukan. Sikap itu juga dipertegas
dengan kata-kata, “Sayang, Papa/Mama mohon supaya kamu boleh meminjamkan
mainan ini pada adikmu. Papa/Mama akan makin sayang sama kamu.” Tidak
perlu dengan ancaman atau teriaka-teriakan. Atau kita bisa juga
menyatakan suatu pernyataan yang menjelaskan suatu konsekuensi, misal
“Sayang, bila kamu tidak meminjamkan mainan in ke adikmu,Papa/Mama akan
menyimpan mainan ini dan kalian berdua tidak bisa bermain. MAinan akan
Papa/Mama keluarkan, bila kamu mau pinjamkan mainan itu ke adikmu.
Tepati pernyataan kita dengan tindakan.
4. Bicara Tidak Tepat Sasaran
Pernahkah kita menghardik anak dengan
kalimat seperti, “Papa/Mama tidak suka bila kamu begini/begitu!” atau
“Papa/Mama tidak mau kamu berbuat seperti itu lagi!” Namun kita lupa
menjelaskan secara rinci dan dengan baik, hal2 atau tindakan apa saja
yang kita inginkan. Anak tidak pernah tahu apa yang diinginkan atai
dibutuhkan oleh orang tuanya dalam hal berperilaku. Akibatnya anak terus
mencoba sesuatu yang baru. Dari sekian banyak percobaan yang
dilakukannya, ternyata selalu dikatakan salah oleh orang tuanya. Hal ini
mengakibatkan mereka berbalik untuk dengan sengaja melakukan hal2 yang
tidak disukai orang tuanya. Tujuannya untuk mrmbuat orang tuanya kesal
sebagia bentuk kekesalan yang juga ia alami (tindakannya selalu salah di
hadapan orang tua).
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Sampaikanlah hal2 atau tindakan2 yang
kita inginkan atau butuhkan pada saat kita menegur mereka terhadap
perilaku atau hal yang tidak kita sukai.Komnikasikan secara intensif hal
atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan. Dan pada waktunya,
ketika mereka sudah megalami dan melakukan segala hal atau perilaku yang
kita inginkan atau butuhkan , ucapkanlah terimakasih dengan tulus dan
penuh kasih sayang atas segala usahanya untuk berubah.
5. Menekankan pada Hal-hal yang salah
Kebiasaan ini hampir sama dengan
kebiasaan di atas. Banyak orang tua yang sering mengeluhkan tentang
anak2nya tidak akur, suka bertengkar. Pada saat anak kita bertengkar,
perhatian kita tertuju pada mereka, kita mencoba melerai atau bahkan
memarahi. Tapi apakah kita sebagai orang tua memperhatikan mereka pada
saat mereka bermain dengan akur? Kita seringkali menganggapnya tidak
perlu menyapa mereka karena mereka sedang akur. Pemikiran tersebut
keliru, karena hak itu akan memicu mereka untuk bertengkar agar bisa
menarik perhatian orang tuanya,
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berilah pujian setiap kali mereka bermain
sengan asyik dan rukun, setiap kali mereka berbagi di antara mereka
dengan kalimat sederhana dan mudah dipahami, misal: ”Nah, gitu donk
kalau main. Yang rukun.” Peluklah mereka sebagai ungkapan senang dan
sayang.
6. Merendahkan Diri Sendiri
Apa yang anda lakukan kalau melihat anak
anda bermain Playstation lebih dari belajar? Mungkin yang sering kita
ucapkan pada mereka, “Woy… mati in tuh PS nya, ntar dimarahin loh sama
papa kalo pulang kerja!” Atau kita ungkapkan dengan pernyataan lain,
namun tetap dengan figur yang mungkin ditakuti oleh anak pada saat itu.
Contoh pernyataan ancaman diatas adalah ketika yang ditakuti adalah
figur Papa.
Perhatikanlah kalimat ancaman tersebut.
Kita tidak sadar bahwa kita telah mengajarkan pada anak bahwa yang mampu
untuk menghentikan mereka maen ps adalah bapaknya, artinya figure yang
hanya ditakuti adalah sang bapak. Maka jangan heran kalau jika anak
tidak mengindahkan perkataan kita karena kita tidak mampu menghentikan
mereka maen ps.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Siapkanlah aturan main sebelum kita
bicara; setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan katakan dengan
nada serius bahwa kita ingin ia berhenti main sekarang atau berikan
pilihan, misal “Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi
sekarang atau lima menit lagi?” bila jawabannya “lima menit lagi Pa/Ma”.
Kita jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah lima menit kamu mandi
ya. Tapi jika tidak berhenti setelah lima menit, dengan terpaksa
papa/mama akan simpan PS nya di lemari sampai lusa”. Nah, persis setelah
lima menit, dekati si anak, tatap matanya dan katakan sudah lima menit,
tanpa tawar menawar atau kompromi lagi. Jika sang anak tidak nurut,
segera laksanakan konsekuensinya.
7. Papa dan Mama Tidak Kompak
Mendidik abak bukan hanya tanggung jawab
para ibu atau bapak saja, tapi keduanya. Orang tua harus memiliki kata
sepakat dalam mendidik anak2nya. Anak dapat dengan mudah menangkap rasa
yang menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya. Misal, seorang
Ibu melarang anaknya menonton TV dan memintanya untuk mengerjakan PR,
namun pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan dalih
tidak mengapa nonton TV terus agar anak tidak stress. Jika hal ini
terjadi, anak akan menilai ibunya jahat dan bapaknya baik, akibatnya
setiap kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai melawan dengan
berlindung di balik pembelaan bapaknya. Demikian juga pada kasus
sebaliknya. Oleh karena itu, orang tua harus kompak dalam mendidik anak.
Di hadapan anak, jangan sampai berbeda pendapat untuk hal2 yang
berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak. Pada saat salah
satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan kita harus
mendukungnya. Contoh, ketika si Ibu mendidik anaknya untuk berlaku baik
terhadap si Kakak, dan si Ayah mengatakan ,”Kakak juga sih yang mulai
duluan buat gara2…”. Idealnya, si Ayah mendukung pernyataan, “Betul kata
Mama, Dik. Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati….”
8. Campur Tangan Kakek, Nenek, Tante, atau Pihak Lain
Pada saat kita sebagai orang tua sudah
berusaha untuk kompak dan sepaham satu sama lain dalam mendidik
anak-anak kita, tiba-tiba ada pihak ke-3 yang muncul dan cenderung
membela si anak. Pihak ke-3 yang dimaksud seperti kakek, nenek, om,
tante, atau pihak lain di luar keluarga inti.
Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan
Mama tidak Kompak), dampak ke anak tetap negatif bila dalam satu rumah
terdapat pihak di luar keluarga inti yang ikut mendidik pada saat
keluarga inti mendidik; Anak akan cenderung berlindung di balik orang
yang membelanya. Anak juga cenderung melawan orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pastikan dan yakinkan kepada siapa pun
yang tinggal di rumah kita untuk memiliki kesepakatan dalam mendidik dan
tidak ikut campur pada saat proses pendidikan sedang dilakukan oleh
kita sebagai orang tua si anak. Berikan pengertian sedemikian rupa
dengan bahasa yang bisa diterima dengan baik oleh para pihak ke-3.
9. Menakuti Anak
Kebiasaan ini lazim dilakukan oleh para
orang tua pada saat anak menangis dan berusaha untuk menenangkannya.
Kita juga terbiasa mengancam anak untuk mengalihkan perhatiannya, “Awas
ada Pak Satpam, ga boleh beli mainan itu!” Hasilnya memang anak sering
kali berhenti merengek atau menangis, namun secara tidak sadar kita
telah menanamkan rasa takut atau benci pada institusi atau pihak yang
kita sebutkan.
Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan
pengertian pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa
karena sesungguhnya anak2 juga mampu berpikir dewasa. Jika anak tetap
memaksa, katakanlah dengan penuh pengertian dan tataplah matanya, “Kamu
boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap tidak akan membelikan permen.”
Biarkan anak kita yang memaksa tadi menangis hingga diam dengan
sendirinya.
10. Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai
Berlaku konsisten mutlak diperlukan dalam
mendidk anak. Konsisten merupakan keseuaian antara yang dinyatakan dan
tidakan. Anak memiliki ingatan yang tajam terhadap suatu janji, dan ia
sanga menghormati orang-orang yang menepati janji baik untuk beri hadiah
atau janji untuk memberi sanksi. So, jangan pernah mengumbar janji ada
anak dengan tujuan untuk merayunya, agar ia mengikuti permintaan kita
seperti segera mandi, selalu belajar, tidak menonton televisi. Pikirlah
terlebih dahulu sebelum berjanji apakah kita benar-benar bisa memenuhi
janji tersebut. Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi segeralah minta
maaf, berikan alasan yang jujur dan minta dia untuk menentukan apa yang
kita bisa lakukan bersama anak untuk mengganti janji itu.
11. Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak
Acapkali kita tidak konsisten dengan
pernyataan yang pernah kita nyatakan. Bila hal ini terjadi, tanpa kita
sadari kita telah mengajari anak untuk melawan kita. Contoh klasik dan
sering terjadi adalah pada saat kita bersama anak di tempat umum, anak
merengek meminta sesuatu dan rengekennya menjadi teriakan dan ada gerak
perlawanan. Anak terus mencari akal agar keinginnanya dikabulkan, bahkan
seringkali membuat kita sebagai orang tua malu. Pada saat inilah kita
seringkali luluh karena tidak sabar lagi dengan rengekan anak kita.
Akhirnya kita mengiyakan keinginan si Anak. “Ya sudah;kamu ambil satu
permennya. Satu saja ya!”
Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah
bagi perilaku buruk si Anak. Anak akan mempelajarinya dna menerapkannya
pada kesempatan lain bahkan mungkin dengan cara yang lebih heboh lagi.
Menghadapi kondisi seperti ini, tetaplah
konsisten; tidak perlu malu atau takut dikatakan sebagai orang tua yang
kikir atau tega. Orang beefikir demikian belum membaca buku tentang ini
dan mengalami masalah yang sama dengan kita. Ingatlah selalu bahwa kita
sedang mendidik anak, Sekali kite konsisten anak tak akan pernah
mencobanya lagi. Tetaplah KONSISTEN dan pantang menyerah! Apapun
alasannya, jangang pernah memberi hadiah pada perilaku buruk si anak.
12. Merasa Bersalah Karena Tidak Bisa Memberikan yang Terbaik
Kehidupan metropolitan telah memaksa
sebagian besar orang tua banyak menghabiskan waktu di kantor dan di
jalan raya daripada bersama anak. Terbatasnya waktu inilah yang
menyebabkan banyak orang tua merasa bersalah atas situasi ini. Akibat
dari perasaan bersalah ini, kita, para orang tua menyetujui perilaku
buruk anaknya dengan ungkapan yang sering dilontarkan, “Biarlah dia
seperti ini mungkin akrena saya juga yang jarang bertemu dengannya…”
Semakin kita merasa bersalah terhadap
keadaan, semakin banyak kita menyemai perilaku buruk anak kita. Semakin
kita memaklumi perilaku buruk yang diperbuat anak, akan semakin sering
ia melakukannya. Sebagian besar perilaku anak bermasalah yang pernah
saya (penulis) hadapi banyak bersumber dari cara berpikir orang tuanya
yang seperti ini.
Apa yang sebaiknya kita lakukan? .
Apa pun yang bisa kita berikan secara
benar pada anak kita adalah hal yang terbaik. Kita tidak bisa
membandingkan kondisi sosial ekonomi dan waktu kita dengan orang lain.
Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak sama. Ada orang yang
punya kelebihan pada sapek finansial tapi miskin waktu bertemu dengan
anak, dan sebaliknya. Jangan pernah memaklumi hal yang tidak baik.
Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya punya sedikit waktu;
gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa sepenuhnya antara
sisa2 tenaga kita, memang tidak mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan
keluarga kita, anak akan terbiasa.
13. Mudah menyerah dan pasrah
Setiap manusia memiliki watak yang
berbeda-beda, ada yang lembut dan ada yang keras. Dominan flegmatis
adalah ciri atak yang dimiliki oleh sebagian orang tua yang kurang
tegas, mudah menyerah, selalu takut salah dan cenderung mengalah,
pasrah. Konflik ini biasanya terjadi bila seorang yang flegmatis
mempunyai anak yang berwatak keras. Dalam kondisi kita sebagai orang tua
yang tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru keras dan lebih
tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih dominan dan
mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut, orang tua sulit
mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah. Saya [penulis]
sering mendengar ucapan dari para orang tua yang Dominan Flegmatis,
“Duh… anak saya itu memang keras betul… saya sudah nggak sanggup lagi
mengaturnya.” Atau “Biar sajalah apa maunya, saya sudah nggak sanggup
lagi mendidiknya.”.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Belajarlah dan berusahalah dengan keras
untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil keputusan, tingkatkan watak
keteguhan hati dan pantang menyerah. Jiak perlu ambil orang orang yang
kita anggap tegas untuk jadi penasihat harian kita.
14. Marah Yang Berlebihan
Kita seringkali menyamakan antara
mendidik dengan memarahi. Perlu untuk selalu diingat, memarahi adalah
salah satu cara mendidik yang paling buruk. Pada saat memarahi anak,
kita tidak sedang mendidik mereka, melainkan melampiaskan tumpukan
kekesalan kita karena kita tidak bisa mengatasi masalah dengan baik.
Marah juga seringkali hanya berupa upaya untuk melemparkan kesalahan
pada pihak lain [dan biasanya yang lebih lemah, kalo ama yang lebih kuat
ya takut].
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah bicara pada saat marah!
Jadi tahanlah dengan cara yang nyaman untuk kita lakukan seperti masuk
kamar mandi atau pergi menghindar sehingga amarah mereda. Yang perlu
dilakukan adalah bicara “tegas” bukan bicara “keras”. Bicara yang tegas
adalah dengan nada yang datar, dengan serius dan menatap wajah serta
matanya dalam dalam. Bicara tegas adalah bicara pada saat pikiran kita
rasional, sedangkan bicara keras adalah pada saat pikiran kita dikuasai
emosi.
Satu contoh lagi yang kurang baik, pada
saat marah biasanya kita emosi dan mengucapkan/melakukan hal hal yang
kelak kita sesali, setelah ini terjadi, biasanya kita akan menyesal dan
berusaha memperbaikinya dengan memberikan dispensasi atau membolehkan
hal hal yang sebelumnya kita larang. Bila hal ini berlangsung berulang
kali, maka anak kita akan selalu berusaha memancing amarah kita, yang
ujung ujungnya si anak menikmati hasilnya. Anak yang sering dimarahi
cenderung tidak jadi lebih baik kok.
15. Gengsi untuk menyapa
Kita pasti pernah mengalami bahwa kita
terlanjur marah besar pada anak, biasanya amarah terbawa lebih dari
sehari, akibat dari rasa kesal yang masih tersisa dan rasa gengsi, kita
enggan menyapa anak kita. Masing masing pihak menunggu untuk memulai
kembali hubungan yang normal.
Apa yang harus kita lakukan agar
komunikasi mencair kembali? Siapa yang seharusnya memulai? Kita sebagai
orangtua lah yang seharusnya memulai saat anak mulai menunjukkan tanda
tanda perdamaian dan mengikuti keinginan kita. Dengan cara ini kita
dapat menunjukkan pada anak bahwa kita tidak suka pada sikap sang anak,
bukan pada pribadinya.
16. Memaklumi yang tidak pada tempatnya
Ini biasanya terjadi pada kebanyakan
orang tua konservatif. Misalnya melihat anak laki laki yang suka usil,
nakal banget dan suka ngacak, orang tuanya cenderung mengatakan, “Yah…
anak cowo emang harus bandel” atau saat melihat kakak adik lagi jambak
jambakan, mamanya bilang “maklumlah… namanya juga anak anak”. Atau
bahkan ketika si anak memukul teman atau mbaknya, orang tua masih juga
sempat berkelit dengan mengatakan “ya begitu deh, maklumlah namanya juga
anak anak. Nggak sengaja…”
Bila kita selalu memaklumi tindakan
keliru yang dilakukan anak anak, otomatis si anak berpikir perilakunya
sudah benar, dan akan jadi sangat buruk kalau terbawa sampai ke dewasa.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak perlu memaklumi hal yang tidak
perlu dimaklumi kok, kita harus mendidik setiap anak tanpa kecuali
sesuai dengan sifat dasarnya. Setiap anak bisa dididik dengan
tegas[ingat: bukan keras] sejak usia 2 tahun. Semakin dini usianya,
semakin mudah untuk dikelola dan diajak kerja sama. Anak kita akan mau
bekerja sama selama kita selalu mengajaknya dialog dari hati ke hati,
tegas, dan konsisten. Ingat, tidak perlu menunggu hingga usianya
beranjak dewasa, karena semakin bertambah usia, semakin tinggi tingkat
kesulitan untuk mengubah perilaku buruknya.
17. Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya
Seberapa sering kita sebagai orang tua
mengungkapkan pernyataan seperti “Awas ya, kalau kamu mau diajak sama
mama/papa, tidak boleh nakal!” atau, “awas ya, kalau nanti diajak sama
mama/papa, jangan bikin malu mama”, bisa juga terungkap, “kalo mau jalan
jalan ke taman bermain, jangan macam macam ya”.
Nah, tanpa disadari kita seringkali
menggunakan istilah istilah yang sulit dimengerti ataupun bermakna
ganda. Istilah ini akan membingungkan anak kita. dalam benak mereka
bertanya apa yang dimaksud dengan nakal, tingkah laku apa yang termasuk
dalam kategori nakal, begitu pula dengan istilah “jangan macam macam”,
perilaku apa yang termasuk kategori “macam macam”. Selain bingung,
mereka juga akan menebak nebak arti dari istilah istilah tersebut.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bicaralah dengan jelas dan spesifik,
misalnya “Sayang, kalau kamu mau ikut mama/papa, tidak boleh minta
mainan, permen, dan tidak boleh berteriak teriak di kasir seperti
kemarin ya”. Hal ini penting agar anak mengetahui batasan batasan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta jangan lupa menyepakati apa
konsekuensinya bila kesepakatan ini dilanggar.
18. Mengharap perubahan instan
Kita terbiasa hidup dalam budaya yang
serba instant, seperti mie instant, susu instant, teh instant. Sehingga
kita anak berbuat salah, kita sering ingin sebuah perubahan yang instant
pula, misal ketika biasa terlambat bangun, nggak beresin tempat tidur,
sulit dimandikan, kita ingin agar anak kita berubah total dalan jangka
waktu sehari.
Apabila kita sering memaksakan perubahan
pada anak kita dalam waku singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan
besar anak sulit memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memenuhi
keinginan kita, ia akan frustasi dan tidak yakin bisa melakukanannya
lagi. Akibatnya ia memilih untuk melakukan perlawanan seperti banyak
bikin alasan, acuh tak acuh, atau marah marah pada adiknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita mengharapkan perubahan
kebiasaaan pada anak, berikanlah waktu untuk tahapan tahapan perubahan
yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari target perubahan yang tidak
mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin, ajaklah ia untuk melakukan
perubahan dari hal yang paling mudah. Biarkanlah ia memilih hal yang
paling mudah menurutnya untuk diubah. Keberhasilannya untuk melakukan
perubahan tersebut memotivasi anak untuk melakukan perubahan lainnya
yang lebih sulit. Puji dan jika perlu rayakan keberhasilan yang
dicapainya, sekecil dan sesederhana apapun perubahan itu. Hal ini untuk
menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang telah
dilakukannya. Pusatkan perhatian dan pujian kita pada usahanya, bukan
pada hasilnya.
19. Pendengar yang buruk
Sebagian besar orang tua adalah pendengar
yang buruk bagi anak anaknya. Benarkah? Bila ada suatu masalah yang
terjadi pada anak, orang tua lebih suka menyela, langsung menasehati
tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal usul kejadiannya.
Sebagai contoh, anak kita baru saja
pulang sekolah yang mestinya pulangnya siang, dia datang di sore hari.
Kita tidak mendapat keterangan apapun darinya atas keterlambatan
tersebut. Tentu saja kita kesal menunggu dan sekaligus khawatir. Lalu
pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya
dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak
bicara, kita selalu memotongnya. Akibatnya ia amalah tidak mau bicara
dan marah pada kita.
Bila kita tidak berusaha mendengarkan
mereka, maka mereka pun akan bersikap seperti itu pada kita dan akan
belajar mengabaikan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak menghendaki hal ini
terjadi, maka mulai saat ini jadilah pendengar yang baik. Perhatikan
setiap ucapannya. Ajukan pertanyaan pertanyaan untuk menunjukkan
ketertarikan kita akan persoalan yang dihadapinya.
20. Selalu menuruti permintaan anak.
Apakah anak kita adalah anak semata
wayang? Atau anak laki laki yang ditunggu tunggu dari beberapa anak
perempuan kakak-kakaknya? Atau mungkin anak yang sudah bertahun tahun
ditunggu tunggu? Fenomena ini seringkali menjadikan orang tua teramat
sayang pada anaknya sehingga ia menerapkan pola asuh open bar, atau mo
apa aja boleh atau dituruti.
Seperti Radja Ketjil, semakin hari
tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini sudah menjadi kebiasaan akan
sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik dengan cara ini akan
menjadi anak yang super egois, tidak kenal toleransi, dan tidak bisa
bersosialisasi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Betapapun sayangnya kita pada anak,
jangan lah pernah memberlakukan pola asuh seperti ini. Rasa sayang tidak
harus di tunjukkan dengan menuruti segala kemauannya. Jika kita benar
sayang, maka kita harus mengajarinya tentang nilai baik dan buruk, yang
benar dan yang salah, yang boleh dan yang nggak. Jika tidak, rasa sayang
kita akan membuat membuatnya jadi anak yang egois dan ‘semau gue’.
Inilah yang dalam bahasa awam sering disebut anak manja.
21. Terlalu Banyak Larangan
Ini adalah kebalikan dari kebiasaan di
atas. Bila Kita termasuk orang tua yang berkombinasi Melankolis dan
Koleris, kita mesti berhati2 karena biasanya kombinasi ini menghasilkan
jenis orang tua yang “Perfectionist”. Orang tua jenis ini cenderung
ingin menjadikan anak kita seperti apa yang kita inginkan secara
SEMPURNA, kita cenderung membentuk anak kita sesuai dengan keinginan
kita; anak kita harus begini tidak boleh begitu; dilarang melakukan ini
dan itu.
Pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan
cara kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik dengan cara menyakiti
diri (jika anak kita tipe sensitive) atau dengan perlawanan tersembunyi
(jika anak kita tipe keras) atau dengan perang terbuka (jika anak kita
tipe ekspresif keras). Oleh karena itu, kurangilah sifat perfeksionis
kita, Berilah izin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan
positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita bisa melihat dan
memahami sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling mempercayai
antara anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan dengan
meminta pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan kesepakatan2 untuk
memberikan batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9
malam harus sudah tiba di rumah. Jika kemungkinan pulang terlambat,
segera beri tahu Papa/Mama.
22. Terlalu Cepat Menyimpulkan
Ini adalah gejala lanjutan jika kita
sebagai orang tua yang mempunyai kebiasaan menjadi pendengar yang buruk.
Kita cenderung memotong pembicaraan pada saat anak kita sedang memberi
penjelasan, dan segera menentukan kesimpulan akhir yang biasanya
cenderung memojokkan anak kita. Padahal kesimpulan kita belum tentu
benar, dan bahan seandainya benar, cara seperti ini akan menyakitkan
hati anak kita.
Seperti contoh anak yang pulang
terlambat. Pada saat anak kita pulag terlambat dan hendak menjelaskan
penyebabnya, kita memotong pembicaraannya dengan ungkapan, “Sudah! Nggak
pake banyak alesan.” Atau “Ah, Papa/Mama tahu, kamu pasti maen ke
tempat itu lagi kan?!”.
Jika kita emlakukan kebiasaan ini terus
menerus, anak akan berpikir kita adalah orang tua ST 001 [alias Sok Tau
Nomor Satu], yang tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan. Lalu
mereka tidak mau bercerita atau berbicara lagi, dan akibat selanjutnya
sang anak akan benar benar melakukan hal hal yang kita tuduhkan padanya.
Ia tidak mau mendengarkan nasehat kita lagi, dan pada tahapan terburuk,
dia akan pergi pada saat kita sedang berbicara padanya. Pernahkah anda
mengalami hal ini?
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah memotong pembicaraan dan
mengambil kesimpulan terlalu dini. Tak seorang pun yang suka bila
pembicaraannya dipotong, apalagi ceritanya disimpulkan oleh orang lain.
Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan
sambil memberikan tanggapan positif dan antusias. Ada saatnya kita akan
diminta bicara, tentunya setelah anak kita selesai dengan ceritanya.
Bila anak sudah membuka pertanyaan, “menurut Papa/Mama bagaimana?”
artinya ia sudah siap untuk mendengarkan penuturan atau komentar kita.
23. Mengungkit kesalahan masa lalu
Kebiasan menjadi pendengar yang buruk dan
terlalu cepat menyimpulkan akan dilanjutkan dengan penutup yang tidak
kalah menyakitkan hati anak kita, yakni dengan mengungkit ungkit catatan
kesalahan yang pernah dibuat anak kita. Contohnya, “Tuh kan Papa/Mama
bilang apa? Kamu tidak pernah mau dengerin sih, sekarang kejadian kan.
Makanya dengerin kalau orang tua ngomong. Dasar kamu emang anak bodo
sih.”
Kiat berharap dengan mengungkit kejadian
masa lalu, anak akan belajar dari masalah. Namun yang terjadi adalah
sebaliknya, ia akan sakit hati dan berusaha mengulangi kesalahannya
sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak ingin anak berperilaku
buruk lagi, jangan lah diungkit ungkit masa lalunya. Cukup dengan
tatapan mata, jika perlu rangkullah ia. Ikutlah berempati sampai dia
mengakui kesalahan dan kekeliruannya. Ucapkan pernyataan seperti
“manusia itu tempatnya salah dan lupa, semoga ini menjadi pelajaran
berharga buat kamu”, atau “Papa/mama bangga kamu bisa menemukan hikmah
positif dari kejadian ini”. Jika ini yang kita lakukan, maka selanjutnya
dia akan lebih mendengar nasehat kita. Coba dan buktikanlah!.
24. Suka Membandingkan
Hal yang paling menyebalkan adalah saat
kita dibandingkan dengan orang lain. Bila kita sedang berada di suatu
acara dan bertemu dengan orang yang berpakaian hampir sama atau berwarna
sama, kita merasa tidak nyaman untuk berdekatan. Apalagi jiak
disbanding bandingkan [FTR, saya tidak merasa seperti ini lho!]
Secara psikologis, kita sangat tdiak suka
bila keberadaan kita baik secara fisik atau sifat sifat kita
dibandingkan dengan orang lain. Coba ingat ingatlah pengalaman kita saat
ada orang yang membandingkan kita, bagaimana perasaan kita saat itu?
Tetapi anehnya, kebanyakan orang tua
entah kenapa justru sering melakukan hal ini pada anaknya. Misal
membandingkan anak yang malas dengan yang rajin. Anak yang rapi dengan
yang gedabrus. Anak yang cekatan dengan anak yang lamban. Terutama juga
anak yang mendapat nilai tinggi di sekolah dengan anak yang nilainya
rendah. Ungkapan yang sering terdengar biasanya seperti, “Coba kamu mau
rajin belajar kayak adik mu, maka pasti nilai kamu tidak seperti ini!”.
Jika kita tetap melakukan kebiasaan ini,
maka ada beberapa akibat yang langsung kita rasakan; anak kita makin
tidak menukai kita. anak yang dibandingkan akan iri dan dengki dengan si
pembanding. Anak pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tiap manusia terlahir dengan karakter dan
sifat yang unik. Maka jangan sekali kali membandingkan satu dengan yang
lainnya. Catatlah perubahan perilaku masing masing anak. Jika ingin
membandingkan, bandingkanlah dengan perilaku mereka di masa lalu,
ataupun dengan nilai nilai ideal yang ingin mereka capai. Misalnya, “Eh,
biasanya anak papa/mama suka merapikan tempat tidur, kenapa hari ini
nggak ya?”
25. Paling benar dan paling tahu segalanya
Egosentris adalah masa alamiah yang
terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Usia tersebut adalah masa ketika anak
merasa paling benar dan memaksakan kehendaknya. Tapi entah mengapa
ternyata sifat ini terbawa dan masih banyak dimiliki oleh para orang
tua. Contoh ungkapan orang tua, “ah kamu ini anak bau kencur, tau apa
kamu soal hidup.” Atau, “kamu tau nggak, kalo papa/mama ini sudah banyak
makan asam garam kehidupan, jadi nggak pake kamu nasehatin papa/mama!”.
Jika kita memiliki kebiasaan semacam ini,
maka kita membuat proses komunikasi dengan anak mengalami jalan buntu.
Meskipun maksud kita adalah untuk menunjukkan superioritas kita di depan
anak, tapi yang ditangkap anak adalah semacam kesombongan yang luar
biasa, dan tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan nasehat orang
yang sombong.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Seringkali usia dijadikan acuan tentang
banyaknya pengetahuan juga banyaknya pengalaman. Pada zaman dulu hal ini
bisa jadi benar, namun untuk saat ini, kondisi itu tidak berlaku lagi.
Siapa yang lebih banyak mendapatkan informasi dan mengikuti kegiatan
kegiatan, maka dialah yang lebih banyak tahu dan berpengalaman.
Jadi janganlah merasa menjadi orang yang
paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang
datang dari anak kita.
26. Saling melempar tanggung jawab
Mendidik anak terutama menjadi tanggung
jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu. Bila kedua belah pihak merasa
kurang bertanggung jawab, maka proses pendidikan anak akan terasa
timpang dan jauh dari berhasil. Celakanya lagi, bila orang tua sudah
mulai merasakan dampak perlawanan dari anak anaknya, yang sering terjadi
malah saling menyalahkan satu sama lain.
Pernyataan yang kerap muncul adalah,
“kamu emang nggak becus ngedidik anak”, dan kemudian dibalas “enak aja
lo ngomong begitu, nah kamu sendiri, selama ini kemana aja?!”. Jika cara
ini yang dipertahankan di keluarga, akankah menyelesaikan masalah?
Tunggu saja hasilnya, pasti orang tua lah yang akan menuai hasilnya,
sang anak akan merasa perilaku buruknya adalah bukan karena
kesalahannya, tapi karena ketidak becusan salah satu dari orang tuanya.
Jelas anak kita akan merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Hentikan saling menyalahkan. Ambillah
tanggung jawab kita selaku orang tua secara berimbang.keberhasilan
pendidikan ada di tangan orang tua. Pendidikan adalah kerja sama tim, da
bukan individu. Jangan pakai alasan tidak ada waktu, semua orang sama
sama memiliki waktu 24 jam sehari, jadi aturlah waktu kita dengan
berbagai macam cara dan kompaklah selalu dengan pasangan kita.
Selalu lakukan introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.
27. Kakak harus selalu mengalah
Di negeri ini terdapat kebiasaan bahwa
anak yang lebih tua harus selalu mengalah pada saudaranya yang lebih
muda. Tampaknya hal itu sudah menjadi budaya. Tapi sebenarnya, adakah
dasar logikanya dan dimana prinsip keadilannya?
Ada satu contoh nyata seperti berikut:
Ada seorang kakak beradik, kakak bernama
Dita dan adik bernama Rafiq. Neneknya selaku pengasuh utama selalu
memarahi Dita ketika Rafiq menangis. Tanpa mengetahui duduk persoalan
serta siapa yang salah dan benar, si Nenek selalu membela si adik dan
melimpahkan kesalahan pada kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar
kok tidak mau mengalah ama adiknya.” Begitulah ucapan yang keluar dari
mulut si Nenek. Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.
Apa yang terjadi selanjutnya? Dita
menjadi anak yang tidak memiliki rasa percaya diri. Ia pun mulai
membenci adiknya. Lama kelamaan Dita mulai banyak melawan atas ketidak
adilan ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua bersaudara ini makin
sering bertengkar. Sementara Rafiq yang selalu dibela bela menjadi makin
egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan
memberaontak. Sang nenek perlahan lahan menobatkan Radja Ketjil yang
lalim di tengah keluarga ini.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Anak harus diajari untuk memahami nilai
benar dan salah atas perbuatannya terlepas dari apakah dia lebih muda
atau lebih tua. Nilai benar dan salah tidak mengenal konteks usia. Benar
selalu benar dan salah selalu salah berapapun usia pelakunya.
Berlakulah adil. Ketahuilah informasi
secara lengkap sebelum mengambil keputusan. Jelaskan nilai benar dan
salah pada masing masing anak, buat aturan main yang jelas yang mudah
dipahami oleh anak anak anda.
28. Menghukum secara fisik
Dalam kondisi emosi, kita cenderung
sensitif oleh perilaku anak, dimulai dengan suara keras, dan kemudian
meningkat menjadi tindakan fisik yang menyakiti anak.
Jika kita terbiasa dengan keadaan ini,
kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan trengginas, suka
menyakiti orang lain dan membangkang secara destruktif. Perhatikan jika
mereka bergaul dengan teman sebayanya. Percaya atau tidak, anak akan
meniru tindakan kita yang suka memukul. Anak yang suka memukul temannya
pada umumnya adalah anak yang sering dipukuli di rumahnya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah sekalipun menggunakan
hukuman fisik kepada anak, mencubit, memukul, atau menampar bahkan ada
juga yang pakai alat seperti cambuk, sabuk, rotan, atau sabetan.
Gunakanlah kata kata dan dialog, dan jika
cara dialog tidak berhasil maka cobalah evaluasi diri kita. Temukanlah
jenis kebiasaan yang keliru yang selama ini telah kita lakukan dan
menyebabkan anak kita berperilaku seperti ini.
29. Menunda atau membatalkan hukuman
Kita semua tahu bahaya yang luar biasa
dari merokok, mulai dari kanker, impotensi, sampai gangguan kehamilan
dan janin. Tapi mengapa masih banyak yang tidak peduli dan tetap
membandel untuk terus menjadi ahli hisap? Jelas karena akibat dari rokok
itu terjadi kemudian dan bukan seketika itu juga.
Begitu juga dengan anak kita. Jika anda
menjanjikan sebuah konsekuensi hukuman atau sanksi bila anak berperilaku
buruk, jangan menunggu waktu yang terlalu lama, menunda, atau bahkan
membatalkan karena alasan lupa atau kasihan.
Bila telah terjadi kesepakatan antara
kita dan anak seperti tidak boleh minta minta dibelikan permen atau
mainan dan ternyata anak mencoba coba untuk merengek, kita ingatkan
kembali pada kepadanya tentang kesepakatan yang kita buat bersama. Anak
biasanya akan berhenti merengek. Namun sayangnya kietika anak berhenti
merengek , kita menganggap masalah susah selesai dan akhirnya kita
menunda atau bahkan membatalkan hukuman entah karena lupa atau kasihan.
Apa akibatnya? Anak akan mempunya anggapan bahwa kita hanya omong doang,
maka mereka akan mempunya tendensi untuk melanggar kesepakatan karena
hukuman tidak dilaksanakan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jila kita sudah mempunyai kesepakatan dan
anak melanggarnya, maka sanksi harus dilaksanakan, jika kita kasihan,
kita bisa mengurangi sanksinya, dan usahakan hukumanya jangan bersifat
fisik, tapi seperti pengurangan bobot kesukaan mereka seperti jam
bermain, menonton tv, ataupun bermain video game.
30. Terpancing Emosi
Jika ada keinginannya yang tidak terpenhi
anak sering kali rewel atau merengak, menagis, berguling dsb, dengan
tujuan memancing emosi kita yang apda kahirnya kita marah atau malah
mengalah. Jika kita terpancing oleh emosi anak, anak akan merasa menang,
dan merasa bisa megendalikan orang tuanya. Anak akan terus berusaha
mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi yang lebih
besar la gi.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Yang terbaik adalah diam, tidak bicara,
dan tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulah anak kita. Bila anak
menangis katakan padanya bahwa tangisannya tidak akan mengubah keputusan
kita. Bila anak tidak menangis tapi tetap berulah, kita katakan saja
bahwa kita akan mempertimbangkan keputusan kita dengan catatan si anak
tidak berulah lagi. Setelah pernyataan itu kita keluarkan, lakukan aksi
diam. Cukup tatap dengan mata pada anak kita yang berulah, hingga ia
berhenti berulah, Bila proses ini membutuhkan waktu lebih dari 30 menit
tabahlah untuk melakukannya. Dalam proses ini kita jangan malu pada
orang yang memperhatikan kita; dan jangan pula ada orang lain yang
berusaha menolong anak kita yang sedang berulah tadi… SEKALI KITA
BERHASIL MEMBUAT ANAK KITA MENGALAH, MAKA SELANJUTNYA DIA TIDAK AKAN
MENGULANGI UNTUK YANG KEDUA KALINYA.
31. Menghukum Anak Saat Kita Marah
Hal yang perlu kita perhatikan dan selalu
ingat adalah jangan pernah memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada
anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang
tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, baik dalam bentuk kata2
maupun hukuman akan cenderung menyakiti dan menghakimi dan tidak
menjadikan anak lebih baik. Kejadin tersebut akan membekas meski ia
telah beranjak dewasa. Anak juga bisa mendendam pada orang tuanya karena
sering mendapatkan perlakuan di luar batas.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
bila kita sedang sangat marah segeralah
menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk bisa menurunkan
amarah kita dengan segera.
Saat marah kita cenderung memberikan
hukuman yang seberat2ya pada anak kita, dan hanya akan menimbulkan
perlawanan baru yang lebih kuat dari anak kita, sementara tujuan
pemberian sanksi adalah untuk menyadarkan anak supaya ia memahami
perilaku buruknya. Setelah emosi reda, barulah kita memberikan hukuman
yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuat. Ingat,
prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan menyakiti. Pilihlah bentuk
sanksi atau hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti
mengurangi waktu main game, atau bermain sepeda.
32. Mengejek
Orang tua yang biasa menggoda anaknya,
seringkali secara tidak sadar telah membuat anak menjadi kesal. Dan
ketika anak memohon kepada kita untuk tidak menggodanya, kita malah
semakin senang telah berhasil membuatnya kesal atau malu. Hal ini akan
membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang sering terjadi anak
tidak menghargai kita lagi. Mengapa? Karena ia menganggap kita juga
seperti teman2nya yang suka menggodanya,
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Jika ingin bercanda dengan anak kita,
pilihlan materi bercanda yang tidak membuatnya malu atau yang
merendahkan dirinya. Akan jauh lebih baik jika seolah-olah kitalah yang
jadi badut untuk ditertawakan. Anak kita tetap aka n menghormati kita
sesudah acara canda selesai. Jagalah batas2 dan hindari bercanda yang
bisa membuat anak kesal apalagi malu. Bagimana caranya? Lihat ekspresi
anak kita. Apakah kesal dan meminta kita segera menghentikannya? Bila
ya, segeralah hentikan dan jika perlu meminta maaflah ayas kejadian yang
baru terjadi. Katakan bahwa kita tidak bermaksud merendahkannya dan
kita berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
33. Menyindir
Terkadang karena saking marahnya orang
tua sering mengungkapkannya dengan kata2 singkat yang pedas dengan
maksud menyindir, seperti, “Tumben hari gini sudah pulang”, atau
“Sering2 aja pulang malem!” atau”Memang kamu pikir Mama/Papa in satpam
yang jaga pintu tiap malam?”.
Kebiasaan ini tidak akan membuat anak
kita menyadari akan perilaku buruknya tapi malah sebaliknya akan mebuat
ia semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kita telah
menyakiti hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Katakanlah secara langsung apa yang kita
inginkan dengan kalimat yang tidak menyinggung perasaan, memojokkan
bahkan menyakiti hatinya. Katakan saja, “Sayang, Papa/Mama khawatir akan
keselamatan kamu lho kalo kamu pulang terlalu malam”. Dan sejenisnya.
34. Memberi julukan yang buruk
Kebiasaan memberikan julukan yang buruk
pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri, tidak percaya
diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Adakalanya anak ingin
membuktikan kehebatan julukan atau gelar tersebut pada orang tuanya.
Solusinya
Mengganti julukan buruk dengan yang baik,
seperti, anak baik, anak hebat, anak bijaksana. Jika tidak bisa
menemukannya cukup dengan panggil dengan nama kesukaannya saja.
35. Mengumpan Anak yang Rewel
Pada saat anak marah, merengek atau
menangis, meminta sesuatu de ngan memaksa, kita biasanya mengalihkan
perhatiannya kepada hal atau barang lain. Hal ini dimaksudkan supaya
anak tidak merengek lagi. Namun yang terjadi malah sebaliknya, rengekan
anak semakin menjadi-jadi. Contohnya, anak menangis karena ia minta
dibelikan mainan, Kemusian kita berusaha membuatnya diam dengan berusaha
mengalihkan perhatiannya seperi, ” Tuh lihat tuh ada kakak pake baju
warna apa tuh…”atau” Lihat ini lihat, gambar apa ya lucu banget?”
Ingatlah selalu, pada saat anak kita
sedang fokus pada apa yang diinginkannya, ia akan memancing emosi kita
dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Anak kita pada umumnya
adalah anak yang cerdas. ia tidak ingin diakihkan ke hal lain jika
masalah ini belum ada kata sepakat penyelesaiannya. Semakin kita
berusaha mengalihkan ke hal lain, semakin marah lah anak kita.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Selesaikan apa yang diinginkan oleh anak
kita dengan membicarakannya dan membuat kesepakatan di tempat, jika kita
belum sempat membuat kesepakatan di rumah. Katakan secara langsung apa
yang kita inginkan terhadap permintaan anak tesebut, seperti “Papa/Mama
belum bisa membelikan mainan itu saat ini. Jika kamu mau harus menabung
lebih dahulu. Nanti Papa/Mama ajari cara menabung. Bila kamu terus
merengak kita tidak jadi jalan-jalan dan langsung pulang.” Jika kalimat
ini yang kita katakan dan anak kita tetap merengek, segeralah kita
pulang meski urusan belanja belum selesai, Untuk urusan belanja kita
masih bisa menundanya. Tapi jangan sekali-kali menunda dalam mendidik
anak.
36. Televisi sebagai agen Pendidikan Anak
Perilaku anak terbentuk karena 4 hal:
berdasar kepada siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya: kita atau TV?
oleh siapa yang dia percaya: apakah anak percaya pada kata2 kita atau ketepatan wakyu program2 TV?
oleh siapa yang meyampaikannya lebih
menyenangkan: apakah kita menasehatinya dengan cara menyenangkan atau
program2 TV yang lebih menyenangkan?
oleh siapa yang sering menemaninya: kita atau TV?
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tersebut yang menjadi faktor pembentuk perilaku anak kita.
2, Menggantinya dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang padat bagi anak2nya.
Gantilah program TV dengan film2
pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari kartun hingga
CD dalam bentuk permainan edukatif.
37. Mengajari Anak untuk Membalas
Sebagian anak ada yang memiliki
kecenderungan suka memukul dan sebagian lagi menjadi objek penderita
dengan lebih banyak menerima pukulan dari rekan sebayanya. Sebagian
orang tua biasanya tidak sabar melihat anak kita disakiti dan
memprovokasi anak kita unutuk membalasnya. Hal ini secara tidak langsung
mengajari anak balas dendam. Sebab pada saat itu emosi anak sedang
sensitif dan apa yang kita ajarkan saat itu akan membekas. Jangan kaget
bila anak kita sering membalas atau membalikkan apa yang kita sampaikan
kepadanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?:
a. mengajarkan anak untuk menghindari teman-teman yang suka menyakiti.
b. Menyampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya.
c. ajaklah orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio atau media lainnya.
Sumber : tjokroaminoto360
0 komentar:
Posting Komentar